Teett..tett .. Beberapa kali nada sms di handphone seorang warga berbunyi. “Ini siapaa, sms gak ada namanya, besok pagi, minyak datang!” gumamnya mengeja bunyi sms. Selanjutnya gumam itu berubah menjadi teriakan. “Pak ini besok minyak datang, besok minyak tanah datang!” serunya gembira.
Berita gembira itu akhirnya ia sebarkan dengan cepat ke seluruh penghuni kampung, Desa Sebangau Permai, Kecamatan Sebangau Kuala Kabupaten Pulang Pisau Kalteng. Dengan bersepeda motor ia keliling kampung membawa berita baik itu.
Kabar minyak tanah datang selalu menjadi kabar gembira untuk masyarakat di kawasan ujung selatan Provinsi Kalimantan Tengah ini. Informasi biasanya datang sehari sebelum minyak tanah benar-benar tiba di kampung mereka. Pada hari minyak tanah datang, semua warga siaga. Para guru, pegawai kantor pemerintahan sampai harus ‘ijin’ tidak masuk kerja demi bisa ikut antri dan mendapatkan minyak tanah.
Sejak jam 5 pagi, warga sudah meninggalkan rumahnya untuk berbondong-bondong datang ke pangkalan minyak tanah di dekat pasar, satu-satunya pangkalan minyak tanah yang melayani 2 ribu Kepala Keluarga se-Kecamatan itu.
Pangkalan Minyak Tanah
Pangkalannya bertempat di sebuah rumah kayu dengan tatanan dinding kayu yang tidak rapat alias renggang-renggang. Meski ada pintu, namun tidak terlalu berfungsi. Serunya ‘kondisi renggang’nya dinding kayu itu nantinya akan dimanfaatkan warga untuk meminta ‘servis kilat petugas’.
Puluhan tangan mencoba peruntungannya, menyodorkan jerigen, meminta pelayanan lebih cepat, syukur-syukur bisa lebih dulu.
Kericuhan tidak dapat terhindarkan pastinya. Karena antrian tak beraturan. Tak ada kupon yang dibawa warga. Akibatnya, ratusan orang dalam sekali antrian berdesak-desakan. Dari anak-anak hingga lansia berbaur dan berebut menjadi satu. “Ulun rambut…rambut ada yang menarik tangan kegapit, ini na…tarik baju rabit..haha…” kata perempuan yang baru saja lepas dari antrian. Dia mengadu ke teman-temannya yang masih berkumpul antri berjubal di sekitar lokasi yang bertempat di pasar itu.
Di samping perempuan itu, tampak seorang ibu sedang membetulkan ikatan jerigennya. Kaos lusuh yang dipakainya tampak makin tak karuan, robek disana sini.
“Saya malah sampai pernah kena luka parah. Kuku kaki njlepat, gara-gara keinjak-injak desakan antrian,” adu seorang Bapak kepadaku. “Saya pernah sobek di lengan karena kena kawatnya,” tutur Ibu yang satunya. “Ngantrinya bisa dapat giliran itu butuh waktu satu jam, Mbak!”
Pandanganku masih dikerumunan antrian itu. Berikutnya, seorang nenek, usianya di atas 70-an. Kaki tak beralas. Aku kira, bukan karena tak punya sandal, tapi struktur tulang kakinya yang bengkok kesana kemari, membuat ia tentu tak nyaman beralas kaki, selain tak ada sandal yang bisa menampung kaki tuanya yang unik itu.
Jangankan berdiri dalam antrian, berdiri membawa badannya saja aku lihat nenek itu sebenarnya sudah tak sanggup. Badannya gemetar. Tapi… nenek ini harus berjuang! Menjadi bagian dari ratusan warga yang antri minyak tanah di pangkalan penuh sesak itu.
Setiap Kepala Keluarga di Sebangau Kalteng ini antri untuk mendapatkan jatah 5 liter minyak tanah bersubsidi. Ada sejumlah warga yang nekat beberapa kali masuk kembali dalam antrian setelah berhasil mendapatkan minyak tanah pada antrian sebelumnya. “Nanti saya masuk lagi, nyrobot lagi,” curhat seorang ibu muda di belakang antrian.
Bagi warga Sebangau, minyak tanah bukan ‘barang biasa’ yang bisa digunakan sembarangan. Untuk memasak, warga lebih memilih menggunakan kayu bakar. Mereka menganggap, minyak tanah seperti oksigen yang amat penting untuk kehidupan.
Kehidupan Malam Hari
Khususnya kehidupan malam hari. Listrik Tenaga Diesel yang menerangi 6 Desa di Kecamatan Sebangau Kuala Kalteng ini hanya bisa dinikmati 2 hari sekali, itupun hanya pada malam hari saja. Bagaimana untuk satu malam selanjutnya? Ketika listrik tidak ada, para transmigran di Sebangau ini terpaksa harus menggunakan teplok atau lampu tempel untuk penerangan malam hari, sampai malam yang akan datang tiba dengan listriknya. “Ngantri minyak ini demi lampu teplok, mbak!” tutur Ismah, perempuan kurus berjilbab dengan logat Jawa Banjar.
Jadi sadar betapa beruntungnya kita yang tinggal di daerah lain di Indonesia, bebas dan bisa menggunakan listrik dengan mudah dan nyaman. (Shinta Ardhan/Travel)
Sebangau, Kalteng 16 Juni 2012