Siang itu sekitar jam 12 lebih 5 menit. Handphone-ku berdering. Aku lihat incoming call-nya ‘Sarmi Ali’. Sekali dering langsung aku angkat. Meski ia jarang telepon, kalau menelpon begini selalu ada hal penting. Entah itu konsultasi liputan, produksi iklan radio atau mengabarkan perkembangan radio.

Ali, remaja campuran Papua Ambon yang berparas 90% mirip Andre Hehanusa. Ia cerdas, kreatif dan menjadi salah satu peserta terbaik dalam training penyiaran, program dan produksi radio Tiko Ida Sarmi Papua Mei 2012.

“Halo Ali, apa kabar?” sapaku cepat. “Baik kak” jawabnya. “Kamu lagi dimana Ali, gimana Puasanya lancar?” tanyaku lagi. Mengingat dia tak banyak bicara di telepon.

“Di Sarmi Kakak, iya puasa. Ini kakak, saya mau kasih kabar, Kak Dwi meninggal, kak!” kata Ali. “Kak Dwi siapa?” tanyaku masih berharap bukan Dwi yang aku kenal di Sarmi saat itu.

“Kak Dwi nya kita kak,” jawab Ali singkat. “Kenapa meninggalnya?” tanyaku berikutnya. “Kurang tau kak, tapi masih karena sakit kepalanya itu kak,” jelas Ali lagi. “Sudah ya Kak, ini saya mau pergi ke Jayapura sekarang,” kata Ali menutup teleponnya.

Dwi, atau Zaenal Dwi Kurniawan. Lelaki campuran Jawa Makasar, yang sudah bertahun-tahun tinggal di Papua. Termasuk di Sarmi. Dalam proyek pembangunan Radio Komunitas Tiko Ida Sarmi Papua, ia mendapat tugas dari PPMN Jakarta menjadi pimpinan proyek Radio komunitas itu.

Sekilas kenangan tentang Dwi. Ia menjemputku sejak dari bandara Sentani Jayapura. Begitu kakiku melangkah keluar dari ruang pengambilan bagasi dan menapaki jalur keluar ruang penjemputan, seseorang memanggil namaku. “Shinta ya?” tebak orang itu. “Iya, kok tau?” tanyaku agak GR. Jadi agak bingung karena si penjemput tidak membawa tulisan namanya dan namaku yang akan dijemput. Tapi kok ada orang yang sudah mengenali namaku. Jadi berasa selebriti turun dari pesawat dipanggil-panggil namanya begitu haha. “Nah itu kan di kopernya ada tulisan Shinta-nya,” jawab orang itu yang ternyata Dwi. Oala dari tulisan nama yang aku tempel sendiri di koperku toh? Hahaha.

Itu kesan kocak pertama bertemu Dwi di bandara. Selebihnya hari pertama itu di Sentani ia menemani aku jalan-jalan ke mall, makan di restoran dan sorenya ke danau di Sentani. Transit sehari semalam sebelum terbang ke Sarmi besoknya itu, benar-benar aku manfaatkan untuk ‘menikmati Sentani’.

Menuju ke Sarmi dengan Susi Air

Dengan pesawat kecil Susi Air, aku terbang dari Jayapura ke Sarmi. Penerbangan hanya butuh satu jam menuju Sarmi. Kalau jarak darat bisa puluhan jam lamanya. Jalur langit memang selalu memendekan jarak dengan efektif.

Biarpun ini bukan penerbangan pertama kaliku ke pelosok-pelosok Papua tapi berada diatas langit Papua selalu sama sensasinya, mendebarkan sekali! Pesawat yang entah kondisinya bagus atau tidak, cuaca yang berubah-ubah dan puluhan pegunungan tampak garang menghadang serta ancaman kelompok separatis yang tidak terduga. Ditambah keparno-an dengan banyak berita pesawat jatuh di Papua. Lengkap sudah keadaan berat yang memicu debaran jantung ini terpacu cepat sepanjang penerbangan.

Makanya sangat berterima kasih untuk PPMN dan KBR68H tempat aku bekerja, telah memberi kesempatan berharga untuk berpetualangan ke Papua berkali-kali ini. Sungguh mahal sekali pengalaman ini. Juga kepada orang tuaku yang tidak pernah risau kapanpun aku dapat tugas ke Papua. Selalu mengijinkan dengan gembira. Sangat melegakan dan meringankan langkah jadinya.

Kembali ke Susi Air yang aku tumpangi tadi. Pesawat Susi Air yang keberadaannya banyak membantu penerbangan ke wilayah pelosok Indonesia ini memiliki banyak keunikan. Pesawat hanya bisa ditumpangi 7-8 orang, kursi dalam kabin bersifat fotable jadi mudah menyesuaikan, memiliki kemampuan mendarat dimana saja dengan landasan minimal 250 meter dan pilotnya bule-bule ganteng.

Sekali terbang dengan pesawat ini kita akan dapat kesempatan duduk bersama pesohor-pesohor pedalaman Papua. Karena pesawat hanya berisi orang-orang berduit atau orang penting. Aku duduk bersebelahan dengan pemuda keturunan Tionghoa yang orang tuanya merajai pertokoan di Sarmi. Di kabin lainnya, para petinggi gereja, politisi atau keluarga politisi, juga aktifis LSM dari lembaga internasional.

Tiba di bandara Sarmi kali ini sendirian karena Dwi menempuh jalur darat. Aku disambut udara pantai yang sedikit panas. Wilayah Sarmi yang terletak di bagian utara Papua ini berada di pinggir pantai Samudera Pasifik. Disebut Sarmi karena merupakan singkatan dari nama suku-suku besar yang terdapat di wilayah ini, yaitu Sobei, Armati, Rumbuai, Manirem dan Isirawa.

Memulai Tugas Trainer Jurnalistik dan Radio di Sarmi

Seperti biasa, setiap mendarat di pelosok-pelosok Papua begini aku akan menjalankan tugas sebagai trainer untuk Radio Komunitas yang dibangun PPMN Jakarta. PPMN membangun radio di Papua untuk membuka akses informasi di daerah-daerah tertinggal itu. Radio akan digunakan sebagai sarana informasi, edukasi, hiburan dan sarana perubahan kehidupan penduduk setempat.

Agar radio yang sudah dibangun berjalan sesuai rencana, peserta akan dibekali beberapa training. Sebelum aku, ada tim Jakarta yang memberi pelatihan teknisi. Setelah itu bagianku. Melatih peserta, warga pilihan yang akan dipercaya mengelola dan menjalankan radio disana. Materi pelatihan seputar, mengenalkan managemen radio, membuat program radio on air dan off air, melatih siaran, membuat iklan, menyiapkan talkshow, mencari narasumber hingga bagaimana mempelajari trik tampil memukau dalam memandu talkshownya. Untuk acara off air, latihannya bagaimana membuat ide event, proposal acara sampai rundown dan melatih MC.

Sungguh bermacam-macam materi trainingnya dan aku selalu bertugas sendirian setiap kali ke Papua. Training dari pagi sampai sore, kalau tugas belum selesai kadang kami lanjutkan hingga dini hari. Misal tugas membuat elemen-elemen audio yang dibutuhkan radio. Dari membuat jingle, ID, Smash, Bridging dan lainnya. Sebenarnya lumayan berat menjalankan training sendirian begini.

Tapi untungnya selama tugas di Sarmi, tim radionya anak-anak muda yang kreatifitasnya kuat. Baik yang warga lokal dan pendatang, semua bagus. Jadi tidak sulit melatih mereka. Ditambah Dwi yang sangat suportif. Ia menjadi tuan rumah dan pendamping training yang sangat baik. Kesan semuanya indah tentang Dwi.

Hampir 16 jam tiap harinya kami bersama. Pagi jam 8 ia selalu sudah hadir di depan pintu hotel untuk membawaku ke radio, radio yang lokasinya diatas bukit. Naik bukit turun bukit tinggi dan terjal bagian dari keseruan training di Sarmi. Saking terjalnya bukit, kadang nggak kuat naik. Dwi terus menyemangati dan mendorongku dari bawah. Sebagai obat lelah, malam harinya Dwi akan mengajakku berkeliling kota Sarmi, berburu restoran yang punya menu seafood terbaik. Puas banget makan ikan hasil laut Sarmi.

Kenangan memang tinggal kenangan. Dwi yang penuh canda dan semangat, kini telah tiada. Selasa lalu, jam 12.05 WIT, ia menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit Jayapura. Dwi meninggal karena derita penyumbatan pembuluh darah di otaknya. Beberapa kali saat di Papua, aku sering melihatnya tiba-tiba berhenti dari melakukan kegiatan apapun ketika sakit di kepalanya menyerang. Sakit yang teramat sakit. Ia harus menjerit-jerit dan berguling-guling sambil memegangi kepalanya. Entah apa benar itu hanya sakit penyumbatan pembuluh darah atau sakit lainnya. Kok sesakit itu Dwi-nya.

Dwi, lulusan Antropologi Universitas Cendrawasih Jayapura, sudah mengajar di kampus-kampus kecil di Sarmi. Sudah menikah dengan Nursanti dan memiliki 2 anak lelaki, Isal umur 5 tahun dan adiknya 2 tahun. Sekarang Dwi telah berpulang. Meninggalkan keluarga kecilnya, orang tuanya dan kru radio Tiko Ida yang sangat kehilangan sosok penting itu.

Beralih ke Wamena dengan Kenangan Babi, Bakar Ubi dan ‘Kelaparan’

Kehilangan kawan, yang pernah menjadi peserta dalam pelatihan PPMN di Papua bukan sekali ini saja. Dwi menjadi yang ke 4. Sebelumnya sudah 3 orang! Semuanya berasal dari Radio Pikonane Wamena Papua.

Aku mengajar di Wamena tahun 2008. Banyak kisah mengharukan dari balik tugasku di wilayah ter-tragis ini. Dimana ratusan warga disana meninggal karena kelaparan parah. Musim dingin dan gagal panen ubi menjadi penyebab kematian banyak orang di pegunungan itu. Beberapa tahun setelah kematian besar-besaran akibat lapar itu masih banyak aku dapati anak-anak kecil busung lapar. Kurus sekali dengan perut buncit sekali. Tapi siapa sangka dibalik derita kelaparan warga pegunungan itu mereka adalah orang-orang yang sangat ramah.

Kedatanganku disambut Kepala Adat dan seluruh kru Radio Pikonane. Radio sampai diliburkan demi menjemput ibu guru di terminal utama Wamena, begitu kata mereka.

Aku punya 6 peserta tetap. Keri, Ina, Panus, Enos, Simon, Beni. Mereka sangat berkesan buatku. Hal yang mengesankan selama memberi training di Wamena, karena lokasi studio yang berada di lereng gunung Jayawijaya dan jauh dari mana-mana. Kondisi itu benar-benar merekatkan kebersamaan kami kala itu.

Untuk semua kebutuhan makan, beras, minyak, sarden, kerupuk, harus kami beli dulu di Wamena. Bekal makan wajib disiapkan sebelum naik ke gunung. Karena jarak kalau mau turun ke Wamena lagi cukup jauh. Transport juga tidak mudah dan tidak murah. Tersedia sih mobil-mobil besar. Ada mobil milik TNI, ada juga yang milik pengusaha. Tapi mahal ongkosnya.

Sudah mahal, unik dan repotnya luar biasa. Kadang ketika sudah naik angkot, penumpang harus bersedia duduk bareng para babi. Iya babi..babi putih dan babi hitam itu. Babi yang menjadi sumber penghasilan masyarakat Wamena. Dipelihara sebagai ternak sekaligus sebagai anggota keluarga. Tiap hari tertentu, warga yang siap menjual babinya akan membawa si babi ke pasar atau ketemu calon pembeli di sebuah tempat.

Babi sangat dihargai lebih disana. Saat dipelihara di rumah, babi-babi itu diperlakukan seperti anggota keluarga. Dimanja, dipeluk-peluk, diajak ngobrol oleh seluruh penghuni rumah. Pernah aku ikut duduk di dapur untuk menghangatkan tubuh dari dinginnya gunung Jayawijaya, aku tersenggol sesuatu dari balik selimut, di depan perapian. Ada yang bergerak-gerak dibalik kain yang menyelimuti sosok misterius itu. Sesekali tangan bu kepala adat memijit dan mengelusnya. Dapur yang gelap benar-benar tidak membantu pandanganku menelisik sosok itu apa. Baru setelah api agak turun panasnya, ia mulai bergerak dan berlari keluar dapur sambil bersuara lirih. Rupanya itu anak babi.

Sudah terbayang, saat penjualan si babi tiba akan menjadi saat yang terberat bagi pemilik. Perpisahan yang memilukan akan terjadi. Untuk membawa babi-babi itu dari rumah ke pangkalan angkot, mereka rela menggendong babi-babinya pakai sarung yang diikatkan ke punggung. Pertama kali aku kira mereka menggendong anak kecil tapi setelah mendengar grok grok keras dari mulut babi, terkesima dan terharulah aku. Sungguh Ikatan batin pemilik dengan babi-babinya begitu kuat dan indah.

Dan, kembali ke bagian naik angkot tadi, berhubung aku baru sekali datang ke Wamena juga belum pernah punya pengalaman duduk bareng babi di dalam mobil, jadinya aku bilang ke tim, kalau bisa nunggu angkot setelah ini saja. Yang tidak bawa babi. Memangnya ada? Ternyata ada. Setelah dua angkot berlalu, dapatlah angkot ketiga yang hanya mengangkut manusia.

Tibalah kami dibawa naik gunung, ditambah semangat membawa sekarung makanan yang siap kami habiskan bersama. Awalnya makanan itu hanya untuk aku sebagai trainer. Uang jatah makan memang hanya untuk trainer karena peserta tinggal di sekitar radio. Mereka bisa pulang dan makan. Namun melihat peserta yang jarang makan layak itu mana tega aku makan sendirian. Jadilah makanan yang ada kita makan bersama.

Stok Makan Habis Disambung Makan Ubi

Kebetulan aku juga bawa susu sachet cukup banyak jadi tiap sore aku ajak peserta minum susu dan cemilan. Bukan main respon gembiranya. Tiap peserta aku jatah satu orang satu sachet susu, tiap sore. Tapi tidak menyangka itu malah menyulut pertikaian. Ada seorang warga paruh baya yang sering main ke radio, mencuri susu sachet dari peserta termuda, namanya Ina. Sudah diam-diam mencurinya tapi apes. Ina masih bisa menangkap si pencuri. Adegan selanjutnya begitu dramatis. Ina mencoba merebut susu sachet sambil memukul keras kepala pria paruh baya itu. Memukul dan menendang sebiasanya sampai Ina berhasil mendapatkannya kembali. Tampak gurat kecewa si Bapak begitu susu kental manis itu lepas dari tangannnya.

Begitu seringnya kami makan bersama itu, membuat prakiraan meleset. Stok makanan untuk kebutuhan 2 minggu ternyata tidak cukup dan hampir habis. Padahal waktu pelatihan di Radio masih kurang 4 hari lagi.

Untuk beli ke Wamena jauh. Harus turun gunung dan menyebrang sungai. Hasilnya ya, harus kreatif. Sambil menghemat beras, murid-murid peserta pelatihan, tiap pagi membawa hasil kebun mereka untuk dimasak bersama. Enos sering bawa ubi manis. Panus juga. Simon bawa sayuran. Ina yang masak. Nasi kita hemat-hemat disambung dengan ubi. Ubi Papua yang manisnya luar biasa.

“Ini ubi buat Bu Shinta ini. Hasil bakar batu,” kata Panus membawakan ubi di ruang studio

“Apa? Bakar batu? Ubinya dikabar satu tempat dengan babi?!” tanyaku polos karena seringnya cuma dengar cara mereka masak dengan batu, dan babi menjadi bahan utama yang sering dibakar di batu. “Eee bukan, bakar batu babi tidak sama dengan bakar batu ubi. Tempat bakarnya berbeda,” jelas Panus yang anak kepala suku ini kocak. Aku pun melanjutkan edit rekaman dengan secangkir kopi dipadu dengan ubi, ubi berkualitas tinggi dari bumi Jayawijaya ini.

Makan ubi, keindahan alam Papua dan kebaikan peserta training di Radio Pikonane Yahukimo, akhinya menjadi kesatuan kenangan manis dan pengalaman berharga. Merasakan ‘kehidupan mereka’ yang serba menyedihkan, penuh kekurangan dan tidak aman. Tidak aman dari kondisi alamnya, sarana kesehatan, ekonomi, hingga situasi politik. Yang ada hanya kesedihan mendalam saat akan meninggalkan mereka.

Usai pelatihan, aku ingin sayonara yang berkesan. Aku modali ke 6 peserta tadi besama Kety, sang direktur Radio Pikonane, untuk mengantarku ke bandara Wamena. Dari studio radio, aku diangkut oleh motor TNI, milik anggota TNI Kurima. Sementara para murid mengikutiku dengan jalan kaki sampai terminal. Sepanjang jalan menuruni gunung, warga pegunungan itu berdiri berjejer-jejer untuk melambaikan tangan kepadaku. Sampai di terminal, aku tunggu peserta yang jalan kaki tadi lalu berlanjut ke Wamena dengan travel yang aku bayar pakai sisa uang makan.

Perpisahan dan Minta Sandal Jepit

Begitu tiba di bandara Wamena, sebelum pesawat mengangkasa menuju Jayapura, karena masih cukup waktu tunggunya, kami gunakan untuk bersantai, berfoto-foto dan makan-makan.

Bagian yang paling mengharukan, saat aku melepas sandal jepit dan memberikannya ke Ina. Ina, satu-satunya peserta training perempuan sengaja menunggu ‘masaku’ memakai sandal itu habis dulu baru memintanya. Ia rela nyeker dari atas gunung sampai bandara karena memang tidak punya sandal selama hidupnya. Tahun itu, hampir semua warga pegunungan disana, tidak mengenal alas kaki. Sehari-hari naik turun gunung, dengan kaki terbuka. Sudah terbayang bukan sekeras apa telapak kaki mereka yang tidak pernah berbalut alas itu?

Saat sandal aku berikan kepada Ina, telapak kakinya yang mekar dan lebar sekali itu tidak semua tertampung di dalam sandalnya. Sedikit dipaksakan.

Adegan miris sandal jepit ini akhirnya benar-benar menjadi penutup kebersamaanku dengan mereka hari itu. Aku harus melanjutkan penerbangan ke Jayapura dan Jakarta. Kenangan Wamena sangat abadi. Foto bersama dengan 6 peserta training di Wamena, aku simpan khusus. Mereka begitu istimewa memberi pelajaran kehidupan yang sangat menyentuh.

Kenangan sedih itupun berakhir dengan duka.

Tiga dari enam peserta training Radio Pikonane yang fotonya aku simpan spesial itu, satu persatu meninggal dunia dalam keadaan tragis! Enos, peserta tertua yang sangat mirip Bob Marley dengan rambut gimbal-nya, meninggal karena sakit malaria yang tak terobati. Dibiarkan mati begitu saja karena tak ada biaya dan terkendala lokasi. Tempat tinggal di lereng gunung itu memang susah akses menuju rumah sakit bahkan rumah sakit terdekat sekalipun di Wamena.

Kalaupun ada angkutan, tapi menyebrang sungai –searus dengan sungai lembah baliem- bukan perkara mudah. Arus deras sungai itu bisa sewaktu-waktu menerkam yang nyebrang. Jembatan sudah luluh lantak digerus arus sungai itu. Enos akhirnya meninggal dunia tanpa penanganan apapun. Semoga tenang di alam abadi-Nya.

Kedua, Beny. Masih muda. Saat aku ajar di radio, umurnya baru 19 tahun. Lalu meninggal pada umur 21 tahun. Beny, yang paling sering ku minta “buang itu ingusnya!” pintaku “begini sudah?” tanyanya. “Belum,” kataku lagi. Sambil menahan haru. Urusan buang ingus buat anak Papua menjadi urusan rumit. Di belahan daerah lain, anak kecil saja bisa refleks menghapus ingus yang mengalir dari hidungnya. Tapi buat anak Papua, bahkan untuk Beny yang sudah bukan anak-anak lagi, buang ingus tidak ada dalam ketrampilan hidupnya sama sekali. Mereka semua tidak bisa buang ingus. Itu fakta yang perlu diteliti dan bila perlu penanganan serius, harus ada yang terlibat sosialisasi dan pelatihan dari dinas terkait. Beny juga meninggal karena malaria. Yang tak terobati dengan kendala yang sama.

Ketiga, Simon. Pria tinggi perkasa yang amat lugu. Saat aku mengajar, dia umur 25 tahun. Jadi Simon meninggal sekitar umur 27 tahun. Dia sangat susah menerima materi tapi punya semangat tinggi untuk ‘berjuang memahami materi’. Hasilnya sering dia harus kembali sampai 4 kali untuk meralat tugasnya. Waktu itu dalam praktik liputan, aku meminta setiap peserta membuat rencana liputan berupa tema dan daftar pertanyaan.

Langkah pertama, mereka aku bekali tema dulu. Tinggal dilanjut dengan membuat daftar pertanyaan. Simon, aku kasih tema gagal panen kentang. Kuberi waktu 15 menit untuk menyusun pertanyaan dan narasumber. Hasilnya? Simon kembali dengan membawa tema cara menanam cabai. Lalu aku betulkan dan arahkan lagi, ke topik gagal panen kentang. Menyusun pertanyaan buat petani : 1. Mengapa gagal panen kentang 2. Apa saja penyebabnya? dst. Simon bilang iya iya. Begitu kembali, dia menyodorkan kertas dan menulis tentang cara menanam wortel. Baru revisi ke 4 Simon berhasil membuat daftar pertanyaan sesuai tema yang benar.

“Simon pakai koteka malu nggak?” tanyaku setelah sesi praktik. Koteka di kawasan lereng gunung Jayawijaya ini masih menjadi pakaian sehari-hari. Bukan dipakai seremoni seperti di tempat lain di Papua. “Malu…hehe,” jawabnya terkekeh. Simon meninggal terseret derasnya arus sungai saat menyebrangi sungai.

Semua sahabat Wamena : Enos, Beny dan Simon, selamat kembali kepada hadapan Sang Pencipta. Semoga tenang dialam keabadian. Segala kekurangan, kesedihan, keterbatasan di dunia semoga dibalas surga oleh Allah sang maha kuasa diatas sana. Amin ***

Jakarta, 27 Juli 2012

Categorized in:

Travel,