Angkutan yang aku tumpangi masih santai mangkal di depan mall meski malam bertambah larut. Tampak sekali Pak sopir angkot tenang dan PD. Sebagai angkutan malam terakhir dan satu-satunya, biar pun santai kayak dipantai mangkalnya tetap diharapkan oleh banyak penumpang.
Para penglaju Semarang Ungaran, seperti karyawan toko, pabrik dan mahasiswa kelas malam sangat bergantung pada angkutan ini. Semenit saja ketinggalan, bisa-bisa tekor dan bokek karena harus pulang dengan naik taksi. Waktu itu tarif taksi Semarang ke Ungaran sebesar 70 ribu sedangkan gaji sebulan UMR saat itu hanya 600 ribu.
Lebih dari setengah jam, angkutan akhirnya penuh. Semua kursi terisi maksimal bahkan melebihi kapasitas. Sebagian penumpang sampai rela berdiri membungkuk di depan pintu demi bisa pulang ke rumah. Harus bersedia desak-desakan adalah aturan sadis naik angkot kala itu. Makin berjejal makin tebal uang yang akan dikantongi kernetnya.
Kendaraan mulai melaju pelan sambil menurunkan satu persatu penumpang yang siap disambut bahagia oleh keluarga mereka di rumah. Saat penumpang mulai banyak yang turun, kursi terasa lebih longgar. Damai dan lega rasanya, kita bisa duduk tanpa menahan pegal-pegal lagi.
Di sampingku duduk seorang pria agak tua, sekitar umur 50-an. Berbaju putih dan celana bahan. Terlihat seperti pegawai. Ia mulai melempar senyum ke arahku dan mulai membuka obrolan basa-basi.
“Baru pulang ya Mbak? Kerja atau kuliah?”
“Iya.”
“Kerja atau kuliah?” ulangnya.
“Dua-duanya,” jawabku singkat.
“Kerja dimana?”
“Semarang.”
Pria kurus itu terus berusaha mengajak ngobrol. Pertanyaan semakin beragam dan lama-lama menyebalkan.
“Kuliah juga ya? Kuliah dimana? Ambil jurusan apa?”
“Pulang kemana? Kok pulang malam kenapa?”
“Rambut Mbak bagus modelnya. Suka rambut pendek ya?”
Makin risih saja berada di depan orang asing yang sok akrab dan banyak cing cong ini. Sering nggak aku jawab, cuma ku respon dengan tatapan datar dan dingin. Tapi ia tidak kapok. Masih saja melanjutkan aksi ngocehnya. Untung nggak lama lagi aku sampai tujuan.
“Pasar…kiri!” teriakku ke sopir. Angkot lalu berhenti. Cepat-cepat aku turun. Ada rasa lega bebas dari pria cerewet tadi. Kulirik ia masih melanjutkan perjalanan.
Setelah tiba di kos, seperti biasa aku bongkar semua isi tas. Ngecek buku tulis, buku kuliah, buku liputan, alat rekaman, batre, kartu pers, handphone dan bekal kosmetik. Saat itu, sebagai mahasiswa yang nyambi kerja jadi reporter radio, harus rutin mengontrol perlengkapan tiap hari karena bawaan banyak dan beda-beda fungsi.
Semua barang sudah kubongkar dari tas. Hitung satu-satu. Cek lagi dan lagi. Sepertinya ada yang hilang?! Ada satu barang yang aku cek beberapa kali tetap tidak ada. Sampai tas aku kibaskan. Tetap tidak ketemu. Hilang!
Bedak!
Kotak putih pipih, kotak bedak padat merk Caring, brand yang sudah cukup lumayan buat mahasiswa semester awal kala itu. Aku langsung teringat bapak-bapak yang sok ramah dan banyak omong di angkot tadi.
Cara dia ngajak bicara tanpa henti itu rupanya sedang menjalankan trik, mengalihkan perhatian, mengganggu konsentrasi korban. Juga muka yang lebay banget ramahnya. Rupanya sambil mulutnya nerocos, wajah senyum, mata memandang ramah, tangannya ternyata bergerak sangat cepat. Ia meraba, mengoperasi lalu menyikat barang yang bisa ditarik dengan cepat dari tas korban. Sungguh ketrampilan yang menuntut ketangkasan tinggi.
Ditambah penampilan bergaya formal tadi, pasti itu hanya modus belaka. Biar berwibawa dan dikira pegawai berkelakuan baik. Dasar pencopet! Asem banget kisah malam ini. Reporter kriminal jadi korban copet di angkot.
Tapi sisi lain ada kegelian dan kegembiraan. Aku merasa menang dan senang saja rasanya. Karena copet cerewet tadi salah ambil barang! “Kapokmu nda nda.” Ia pikir kotak kecil di kantong depan tasku adalah handphone. Makanya ia semangat banget mencoba mengakali konsentrasiku, mengecohku dengan keramahan berlebihan tadi.
“Itu bukan handphone pet copet. Itu cuma sekotak bedak. Handphone yang kau target, aman saja di kantong celana ini. Haha.. Atau Jangan-jangan dia tadi ada gejala ngondek ya? Target operasi nyopetnya memang bedak-bedak? Apa ini termasuk genre copet baru? Fokus nyopet kotak bedak ?” tanyaku dalam hati geli.
Namun menjadi korban kejahatan tetap saja menyakitkan. Apapun level kriminalitasnya tetap saja ada hak kita yang dirampas paksa oleh pelaku kejahatan. Dan kejahatan khas orang susah begini, akan terus tumbuh subur jika kemiskinan, minim lapangan kerja, kesenjangan sosial tidak diatasi.
Copet sebagai bentuk tindakan kriminal sifatnya konvensional artinya pelaku harus berhadapan secara langsung dengan korban. Sarananya fisik, mental, trik dan ketangkasan. Ini jenis kejahatan yang resikonya besar, hasilnya kadang tidak seberapa. Diamuk massa, bersimbah-darah, bahkan sampai ada yang tewas.
Kalau saja ada pilihan, para pencopet itu mungkin akan lebih memilih jenis mencopet yang aman, hanya bermodal kekuasaan, tanda tangan dan minim resiko bonyok. Yaitu mencopet uang rakyat. Pelaku bisa dengan tenang melakukan aksinya, bebas kendala diamuk massa, bebas pula dari penjara. (***) (Ungaran, 2004)