Malam itu di sebuah ruang belakang panggung, aku dikagetkan oleh kemunculan seorang pria yang tiba-tiba datang dan langsung minta duduk di kursi sebelahku. “Ini kosong kan, boleh duduk di sini?” tanyanya setengah buru-buru. “Oh ya, kosong. Duduk saja,” jawabku singkat.
Setelah duduk, ia membuka percakapan lanjutan. “Aku belum telat banget kan?” “Belum. Masih pembukaan ini,” jawabku singkat lagi.
Jawaban singkat-singkat begini selalu aku terapkan setiap bertemu talent lain, terutama talent yang baru pertama ketemu di belakang panggung. Perlu observasi. Jangan sampai salah aksi. Karena ruang belakang panggung seperti ini tidak jarang menjadi ruang salah kira. Sering kali niat baik tidak berbalas semestinya. Keramahan dan senyuman kita kadang sia-sia. Sering juga mendapati yang sedang laris, tak terbendung angkuh dan sinisnya. Mending perkuat rasa cuek dan bikin jarak biar nggak kena batunya.
Juga kepada pria yang barusan duduk di sebelahku ini. Sosok yang tampan dan sangat wangi, giginya rapi, jari-jemarinya bersih, kukunya kinclong. Tak salah kalau pikiranku mencurigainya sebagai seorang entertainer yang tidak gemar beramah-ramah.
Dia memperkenalkan diri. Namanya Bram. Kerjanya di beberapa bidang. Status utama sebagai pegawai perusahaan BUMN, kerja sampingannya bernyanyi, bermusik, dan mengajar sekolah vokal.
Sekilas mirip Atalarik Syah versi muda. Punya lesung pipit di pipi kiri. Alisnya tebal, hidungnya tinggi, ditambah bulu mata lebat. Kuakui Bram punya level good looking di atas rata-rata. Tampan dan mapan. Perpaduan pujaan banyak kaum hawa.
Malam itu aku dan Bram sedang menunggu giliran naik ke panggung. Dia tampil bernyanyi sambil main piano, sementara aku memandu acara. Setelah berkenalan singkat tadi, obrolan demi obrolan mengalir. Di sela ngobrol ini, ia minta izin untuk berfoto selfie denganku. “Selfie yuk!” ajaknya. Belum sempat kujawab, ia sudah langsung ngeklik kamera di handphone mahalnya.
“Nggak ada yang marah kan, aku foto-foto sama kamu?” tanyanya. “Haha, ada-ada aja kamu. Kerja kita berfoto-foto begini kan bagian dari rundown acara juga,” balasku sambil ketawa. Bram juga ikut tertawa.
Saat ia tertawa lepas seperti itu, aku lihat pesonanya makin menjadi. Makin sempurna nilai tampannya. Makin indah komposisi wajahnya. Sungguh merupakan hiburan menarik bisa seru-seruan dengan si tampan yang ternyata ramah sekali plus enak dipandang ini. Suasana nunggu perform di belakang panggung berubah lebih asyik dan ceria. Sampai-sampai kecurigaan awalku tadi sirna begitu cepat dari pikiran.
Jarang-jarang nemu sosok seperti Bram di kota ini. Tampan, beken, yang ramahnya luar biasa. Sudah level ketampanannya tinggi, layak masuk layar kaca. Ditambah suara bagus, main piano dan gitar juga bagus. Ramah, hangat, dan menyenangkan lagi. Manis sekali kepribadian dan bakatnya.
“Heh, giliran kamu tuh. Itu sudah lagu terakhir yang bagian ini,” kata Bram sambil menyenggol lenganku. Aku segera menyudahi pengamatan pada sosok di sebelahku itu untuk cepat-cepat kembali ke tengah panggung. Berinteraksi sebentar dengan beberapa penampil, lalu balik lagi ke belakang. Setelah itu, gantian Bram yang kembali ke panggung. Jatahnya tampil lagi.
Sambil menikmati suara Bram, lagi-lagi aku kembali asyik melanjutkan pengamatan yang sempat terhenti tadi. Sebelum penampilan lagu ketiganya berakhir, tiba-tiba aku menyadari seperti ada yang tidak beres. Pria setampan itu, sewangi itu, sesukses itu pasti pemain, pasti playboy, pasti senang memasang ranjau, menjerat perempuan-perempuan dengan pesonannya. Pasti dia sadar akan pesonanya. Wah, tengsin dong kalau aku sampai kena perangkapnya.
Jadilah, sebagai orang yang tipenya malas terjebak oleh sekedar nilai sebuah pesona, aku segera mencari ide. Usai Bram tampil yang kesekian kalinya itu dan kembali duduk di sebelahku, aku mencoba meminimalkan terlibat obrolan lanjutan dan berusaha menyibukkan diri ke gadget yang ada. Cari sibuk saja, buka-buka Instagram, lihat-lihat akun media, baca-baca berita singkatnya.
Tapi sial, usahaku beralih fokus itu hanya bertahan beberapa sesi saja. Bram ‘terus menyerang’. Dia berusaha keras meneruskan obrolan-obrolan, mencari bahan, dan mempertahankan momen kedekatan.
Berlanjutlah obrolan kami sambil berfoto-foto lagi. Entah mengapa, Bram jadi tambah demen banget foto-foto sama aku? Sekali cekrek, kalau kedapatan muka kita nggak pada angle yang cakep, hapus! Cekrek lagi… descent: Cekrek lagi. Belasan pose sudah masuk ke galerinya. Dia cek lagi. Tangannya bergerak cepat menggeser-geser foto-foto itu. Tampak sekali dia jago milih hasil foto selfie. Pengecekan foto layak dan tidak layak berlangsung kilat.
Suasana itu membuat interaksi kami makin meningkat, saling bertukar nomor kontak WhatsApp, tidak ketinggalan saling follow Facebook dan Instagram. “Nggak cuman suaramu yang mantap, pengalamanmu juga ekstrem, suka petualangan ke pedalaman ya!” katanya memuji. “Kamu juga, hebat. Suara oke, karier tingkatnya internasional pula. Hebat banget ini dah!” balasku memuji.
Tanganku bergerak cepat menjelajah foto-foto Bram. Banyak terpampang aksi panggungnya di berbagai provinsi dan berbagai negara. Bikin tambah berdecak kagum. “Luar biasa ya jam terbangmu,” pujiku lagi sambil terus mengamati foto-fotonya.
Dari seluruh foto Bram, aku menyimpulkan, Bram bukan penyanyi kaleng-kaleng. Bakatnya kuat. Sepak terjangnya internasional. Buat ngetop ke kancah nasional sepertinya hanya perlu nunggu hoki saja. Paketnya sudah lengkap.
“Eh, aku dapat telpon nih, aku ke belakang dulu ya?” ujar Bram tiba-tiba mohon izin mengangkat telepon selulernya sambil bergerak ke ruang belakang, beberapa meter dari tempat duduk kami.
Lima menit kemudian, bersamaan dia masih sibuk nerima telepon di belakang sana, handphone yang lain, yang ditinggal di kursi, juga bergetar. Terus bergetar. “Gimana coba kalau ini yang nelpon calon klien. Job penting Bram, jangan sampai terlewatkan,” pikirku. Handphone di kursi sempat berhenti getar tapi cuma sebentar. Lalu bergetar lagi dan lagi. Berisik!
Iseng akhirnya aku intip sekilas layarnya. Agak nggak sopan sih, tapi kan cuma ngintip layar doang, tak apalah, haha, bercanda dalam hati. Dari layar itu, kalau aku amati, panggilan yang masuk itu fotonya tidak begitu jelas, tapi tulisannya seperti My love.
Waduh… My love?! Sialan-sialan. Jadi seketika merasa menyesal dan turun gengsi telah terbawa suasana pergombalan yang diciptakan Bram dalam satu jam terakhir ini. Coba kalau aku dari awal bertahan cuek, nggak bakalan terkecoh begini. Lagian, mana mungkin sih secakep itu nggak punya pacar atau istri! Huh, tengsin kali aku ini.
My love… My love… memanggil terus. Tambah sebel dah.
Tapi aku berusaha santai. Saat Bram kembali ke kursi, aku juga berpura-pura sibuk dengan handphoneku. “Ada telpon tuh dari tadi bunyi terus,” kataku singkat.
Bram mengangguk. Tidak sempat duduk, langsung memungut handphonenya. Begitu jari-jari mulusnya menekan tombol terima, “Yaang… kemana aja sih di telpon berkali-kali,” suara lantang dari seberang terdengar marah-marah. “Kamu mau dijemput jam berapa?” suara dari seberang melengking lagi. Bram lupa merendahkan volume speaker handphonenya.
Jadi aku bisa mendengar jelas jenis suara yang sedang bicara uring-uringan dengan Bram itu. Jelas bukan suara perempuan. Itu suara laki-laki! Jadi My love-nya Bram, laki-laki?!
Oalah, oalah. Dasar!
Terus 30 menit selfie terus sama aku tadi kemana?! Buat apa?! Kirain… kirain… Sudah GR aku ini, Bang, diajak selfie sama engkau yang tampan dan wangi itu.
Oke lah, tidak apa-apa. Yang penting sudah ngajak-ngajak selfie ria. Semoga menjadi awal yang baik. Latihan dari tertarik selfie-selfie dulu sama perempuan, sapa tahu nanti lama-lama tertarik beneran.
Ditunggu juga cepat kembali ke jalur yang benar ya, Bram. Kasihan perempuan, stok pria tampan yang sixpack dan menawan makin menipis nih 🙁
Belakang Panggung, 2014