Namanya Julio. Aku ketemu dia dalam sebuah panggung peragaan busana. Saat itu aku jadi pembawa acara dan Julio yang perancang busana dari sekolah fashion designer ikut meramaikan acara besar itu dengan menampilkan hasil karyanya.
Berawal dari perkenalan seru’s malam itu dan rasa kagum dengan hasil kreasinya, relasi aku dan Julio akhirnya berlanjut. Dari interaksi perancang busana dengan MC, hingga berlanjut menjadi teman. Teman yang solid dan suportif. Julio sering ke basecamp dan terlibat aktif memberikan dukungan untuk program pemberdayaanku ke anak-anak muda. Sering bawa oleh-oleh setelah mudik dari kampungnya di sebuah Provinsi yang dekat dengan Malaysia. Atau kadang mengajak kami keluar makan, karaokean juga nongkrong di kafe sampai malam. Dan Julio selalu sibuk menjadi pihak yang mbayari semuanya. Lengkap sekali cerita keceriaan kami dan Julio. Singkatnya, pertemanan kami berjalan lebih dari satu tahun. Tak pernah berantem atau salah paham. Sampai pada suatu hari ada pertanyaan Julio yang membuatku terhenyak.
“Kak, aku tuh beberapa hari ini mengalami mati rasa di beberapa bagian tubuh. Aku mau tes darah, itu kemana ya?” bunyi BBM Julio. “Coba kamu ke rumah sakit,” balasku singkat.
Aku memberi saran tanpa menanyakan lebih panjang ‘cerita pembuka’ Julio tadi. Selain tidak ingin membuat dia bingung memberi jawaban, aku sepertinya ‘sudah curiga’. Selama hampir satu tahun berteman, Julio terlihat selalu sendiri. Meski termasuk cakep dan keren tapi jarang bawa cewek yang dikenalkan sebagai pacar. “Ini temanku, ini sahabatku. Ini geng aku,” begitu terus kata Julio saat bawa ‘perempuan’ di depanku.
Memang Julio tidak terang-terangan ‘mengungkap jati dirinya’ tapi tanda-tanda ke arah sana tampak jelas. Dia kerap memakai lipsgloss, suka mewarnai kukunya dengan kutek dan sering memajang cowok-cowok macho di display picture BBM-nya.
Pengakuan Julio
Malam itu aku diundang teman ke sebuah hotel. Temanku singer, show reguler di sana. Kami akan membicarakan job bersama. Dalam perjalanan, otakku iseng mengingat Julio yang kemarin malam nanya soal tes darah. Apa hasilnya ya?
Sepertinya ada kontak batin, Julio tiba-tiba BBM menanyakan aku di mana. Aku kirim alamat hotel, dia pun langsung menyusulku. Kami duduk di sofa, sudut hotel mewah ini. Mulailah Julio bercerita.
“Kak, aku positif,” ungkap Julio pelan. Sejak tadi aku sudah ‘dapat firasat’ jadi tidak begitu terkejut. Hanya saja tetap ada rasa pilu, mendapati salah satu orang dekat kami menemui nasib ini. Tambah sedih kalau mengingat kisah Julio dengan segala prahara hidupnya.
Dari kecil Julio tidak memiliki orang tua. Dia tumbuh dan besar dari satu saudara ke saudara lainnya. Juga pernah tinggal di panti asuhan. Melihat sekarang ‘nyaris sukses’ di bidang fashion designer yang diimpikan tapi harus segera dia kubur dalam-dalam?! Sayang sekali rasanya. Sebentar lagi hidupnya akan terkuras mengutuki diri sendiri karena gelar ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) yang disandangnya di usia semuda itu.
Sejak kapan Julio mulai menyimpang dan bagaimana sebenarnya virus itu bekerja menginfeksinya? Bagaimana awal mula ia terjangkit virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh dan menjadikan tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi itu. Sel-sel penting yang dibutuhkan oleh tubuh manusia perlahan juga akan dibunuh oleh virus ini.
Dua bulan berturut-turut aktivitas seks tak lazim bersama pacarnya tergolong tinggi. Setiap malam tak pernah absen. Pacarnya, adalah seorang pria yang gila seks. Satu malam Julio bisa sampai 6 kali ‘melayani’ pacar bejatnya itu. “Aku sangat mencintainya Kak. Dia pacar terbaikku. Aku relakan diri ini seperti ini karena cintaku begitu dalam padanya,” kata Julio dengan tatapan menerawang. Meski hatinya masih mellow kalau bicara soal sang pacar tapi sebenarnya dia tak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya. “Aku mau ketemu dia, Kak. Temani aku ya Kak,” pintanya.
Menemui Pacar Julio
Dengan beberapa pertimbangan, akhirnya aku bersedia menemani Julio. Kami janjian di lokasi. Aku tidak datang sendirian. Dalam kondisi ini sangat perlu bawa teman. Kami bertiga mengetuk pintu apartemen pacar Julio. Sosok pria berjambang muncul membuka pintu. “Beb boleh masuk, aku mau bicara?” kata Julio selanjutnya.
Begitu duduk, Julio langsung mengeluarkan selembar kertas hasil tesnya. Pria itu tampak membaca sekilas lalu berkata dengan suara membentak. “Maaf ya, kamu hanya pelarianku. Aku tidak sungguh-sungguh mencintaimu. Aku punya kekasih sejati. Kamu jangan coba-coba menjebak aku dengan omong kosongmu.” Dari cara bicara dan ekspresinya, jelas sekali pacar Julio yang berwajah mirip bintang sinetron Turki itu mengelak keras kalau dituduh sebagai biang keladi Julio kena penyakit mematikan itu. Bahkan demi menguatkan pengelakannya, pria berjambang dan bermata coklat itu sudah ‘menyiapkan’ dokumen tandingan. “Ini hasil tesku. Aku tidak positif sama sekali!” bentak pria itu lagi.
“Aku hanya ingin kamu peduli saat aku seperti ini Beb. Aku rela kok mati karena-mu. Tapi please, jangan acuhkan aku dalam keadaan seperti ini,” pinta Julio memelas ke pria itu.
“Buat apa aku harus peduli. Aku tidak cinta kamu dan hasilku negatif. Kamu jangan coba-coba menjebakku!” hardiknya lagi. Kali ini lebih beringas. Dengan mata membulat dan tegang. Pria yang sebenarnya tampak maskulin itu terlihat sangat emosi. Sorot matanya menakutkan! Auranya, bukan aura orang normal pada umumnya. Seperti ada jiwa lain yang menguasai jiwanya. Semacam kesetanan dengan jenis setan tingkat entah!
Debat makin panas dan tidak ada hasil. Julio harus rela bertambah ngenes karena sang pacar dengan brutal mendorongnya keluar dari kamar sampai tersungkur. Sudah jatuh tertimpa tiang listrik lah kalau begini. Mental Julio pasti berlipat banget down-nya. Pacar yang diharapkan hadir menguatkan justru sebaliknya. Bilang tidak peduli, bilang tidak cinta masih menghina dina dirinya. Kejam sekali!
Bertemu Sesama Penderita
Habis tragedi jatuh didorong itu, Julio masih aku bantu lagi. Dia minta dipertemukan dengan beberapa pengidap HIV lainnya. Dia ingin curhat untuk menguatkan batin. Coba kuhubungi beberapa teman aktivis dan ketemu. Aku bisa bawa Julio ketemu mereka. Ada dua orang, yang pertama ibu rumah tangga kena HIV dari suaminya yang sopir truk. Suaminya sering jajan di luar dan bawa penyakit pulang ke rumah. Tapi Ibu yang berbadan kuat itu tidak totalitas menyalahkan suaminya. Dia tetap berusaha tegar dan cari jalan keluar. “Cara menguatkan jiwa dan fisikku ya gabung komunitas begini, ada penyuluhan, ada dukungan pengobatan. Aku aktif minum obat terus sampai sekarang. Ini sudah tahun ke tujuh aku dalam kontrol obat-obatan. Fisik ya kuat saja, bisa nyetir motor antar provinsi juga,” jelas Istri sopir truk kala itu. (Aku tidak mengikuti kondisinya sekarang masih sehat atau sudah meninggal). Menurut data, pengidap HIV memang masih ada peluang hidup 9-11 tahun ke depan terhitung dari pertama kali terjangkiti virus. Tapi masih tergantung kekebalan tubuh masing-masing juga.
Kemudian yang kedua, pria penyuka sesama jenis. “Bedanya dengan kamu, ambang batasku masih aman. Ambang batasmu ini sudah melewati batas aman,” ungkap pria itu sambil membaca hasil laborat Julio. Pernyataan pria itu tentu membuat Julio bertambah kecut dan tegang. Memikirkan masa-masa sulit berikutnya, melanjutkan hidup dengan menyandang penyakit mematikan yang belum ditemukan obatnya ini.
Dengan membantu Julio kala itu setidaknya aku menyaksikan sendiri buruknya dampak hubungan pasangan sesama jenis itu. Mau sekeren apapun jenis kampanye mendukung mereka, tetap saja di balik itu, risiko besar menghadang. Tidak sekedar bahaya tapi mengerikan! Sangat jauh dari konsep-konsep manis iklan layanan masyarakat yang membelashop hak dan keputusan hidup kaum yang sejatinya sudah dilarang oleh Agama manapun itu. Sekali kena, derita mereka itu sepanjang hayat!
Usai bertemu aktivis itu, aku tidak pernah berkomunikasi dengan Julio lagi. Kabar terakhir dari teman-teman kampusnya, Julio telah kembali ke kota asalnya. Melanjutkan penderitaan dengan minum obat seumur hidup. Pengidap HIV seperti Julio setelah mendapat hasil tes positif, akan mendapat obat bersubsidi dari Kemenkes yang harus diminum berpuluh-puluh pil tiap harinya dan selamanya.
Jika melihat satu Julio saja sudah begitu berat menanggung hidup dengan melawan virus yang terus melemahkan imun itu, maka sudah seharusnya program edukasi dibuat lebih fokus ke upaya pencegahan. Diedukasi agar jumlah kelompok yang terjerat praktik seperti Julio dan pacarnya, tidak bertambah. Bukan edukasi setelahnya. Setelah kena! (2014)