Catatan kali ini tentang 2 sosok inspiratif. Sosok pertama Sulikin, bocah penderita rapuh tulang di Kudus yang berbakat cemerlang namun terhalang kelainan tulang. Yang kedua adalah Ana, seorang TKW Taiwan asal Blitar Jawa Timur yang baik hati dan memiliki literasi yang bagus. Senang membaca dan senang berderma.
Melalui Lia, teman SMP aku yang saat itu bekerja di Taiwan, ada seorang temannya yang berniat mengirimkan uang sebesar satu juta untuk Sulikin, bocah penderita rapuh tulang di Kudus. Keinginan membantu itu tergerak di hati Mbak Ana setelah ia membaca kisah Sulikin yang dimuat di tabloid Nyata tahun 2006. Meski di Taiwan, ia tetap rajin membaca dan langganan tabloid dari Indonesia. Keren kan.
Hasrat ingin menolong sesama yang begitu menggebu itu disampaikan ke temanku. “Coba aku kontak temanku yang wartawan di Semarang, mungkin bisa bantu kirim donasimu ke Sulikin,” kata Lia. Dari singkat komunikasi, akhirnya sepakat aku akan jadi relawan untuk Mbak TKW memberikan donasi kasih sayang kepada Solikun. Dengan semangat aku mengajak dua teman kos Yani dan Angger ikut jadi relawan berangkat ke Kudus.
***
Sulikin (10), bocah dari Desa Kutuk Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus, Sudah lima tahun terakhir menjalani hidupnya diatas kursi roda, terkadang juga diatas alat yang menyangga kakinya karena tidak bisa berdiri tegak, atau diatas gendongan sang ibu yang tiada jenuh menemani putra tercintanya.
Kelainan tulang Sulikin yang dibawa sejak bayi menjadikan bocah rupawan itu harus sabar menjalani hidup seperti ini.
Ditengah kekurangannya ia menyimpan semangat hidup yang kuat. Ia ingin maju seperti anak normal lainnya, ia ingin menggapai cita-citanya meski banyak terhadang kesulitan.
***
Rumah Sulikin
Sebenarnya tidak mudah untuk menemukan rumah Sulikin. Dari tepi jalan raya Kudus Purwodadi tepatnya di daerah Babalan ke arah tempat tinggal Sulikin, harus melewati jalan sempit bergelombang dengan kiri kanan sawah dan sungai. Tapi karena sosok Sulikin sudah banyak di kenal warga, tanpa alamat pun tempat tinggalnya bisa ditemukan. Rata-rata para tukang ojek setempat sudah paham dan langsung mengantar semua tamu yang ingin ke rumah Sulikin. Beragam orang yang mendatangi, ada wartawan, dermawan, para pejabat yang peduli dengan nasib Sulikin.
Sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah Joglo berdinding bambu dengan lantai tanah. Tak ada barang mewah dalam rumah tersebut. Kursi tamu yang ada pun kondisinya tak terawat, penuh debu dan berantakan.
Namun siapa sangka dibalik kesederhanaan rumah Sulikin ini, terdapat penghuni-penghuni yang sangat hangat, ramah, percaya diri dan memiliki semangat hidup yang kuat.
Siang itu salam saya disambut hangat oleh seorang lelaki setengah baya, salam itu dia sampaikan dengan lafal bicara yang agak sulit saya mengerti. Rupanya saraf bicara bapak itu terganggu karena serangan stroke. Namun keramahan bapak itu membuat saya terharu. Ia memiliki kelemahan tapi semangat menyenangkan orang lain terlebih lagi tamu yang datang ke rumah cukup tinggi. Ia tampak sekali ingin berbagi cerita dengan saya. Tapi semua itu terhalang kondisi fisiknya. Akhirnya ia hanya bisa berbagi dengan tawa renyahnya yang sesekali terurai.
Sesaat kemudian Sukiyah(35) datang sambil menggendong putra tercintanya, Sulikin. Sudah lima tahun belakang ini, Sulikin melakukan semua kegiatan dengan bantuan sang ibu. Ia tidak dapat berdiri apalagi berjalan. Tulang kakinya yang mengalami patah 23 kali, membuatnya tidak dapat berjalan dan berdiri.
Tapi Sulikin tidak pernah menyesali nasibnya. Cerita yang terurai dari bibir mungilnya, mengisyaratkan masih ada semangat hidup yang besar dari penderita kerapuhan tulang tersebut. Sehari-hari Sulikin mengisi waktu di rumah joglonya sambil melukis. Dengan bermodal kertas seadanya dan pencil warna, berbagai gambar ia hasilkan. Kebanyakan lukisannya bercerita tentang alam nan indah, keluarga bahagia, public figure idolanya. Melukis seolah menjadi teman mainnya yang paling menyenangkan.
Tidak bermain sepak bola, bersepeda, berlarian di pematang sawah seperti anak lain di desanya, Sulikin tetap bahagia.
“ Suka Tompi ya? “ tanya saya waktu melihat satu lukisan sosok penyanyi bersuara khas asal Aceh itu.
“ Iya, “ jawab Sulikin sambil tersipu. “ Saya juga suka Peterpan, Ungu. Lagu-lagu Ungu juga saya hapal,” terangnya, percaya diri. Sulikin mengaku hanya dari kotak kecil televisi itulah ia berusaha tidak ketinggalan jaman dan mengenal dunia.
Rapuh tulang.
Disamping Sulikin tampak setia Sukiyah ibundanya. Wajah Sukiyah, Ibu Sulikin seharian tampak cerah. Tidak ada gurat-gurat kesedihan. Saat menceritakan kondisi anaknya pun, tidak ada air mata yang tertahan di matanya justru senyuman selalu berkembang dari bibirnya.
Meski sebenarnya cobaan bukan hanya sekali saja menimpa ibu Sukiyah. Sebagai seorang istri ia juga harus banting tulang mengambil alih peran Sumarsikin suaminya, sebagai kepala rumah tangga. Beberapa tahun ini Sumarsikin terserang stroke. Praktis lelaki paruh baya itu tidak dapat beraktifitas apapun, ia juga mengalami kelainan tulang, dua tangannya tidak dapat berfungsi normal. Alhasil Sukiyah kini bekerja keras menghidupi keluarganya dengan berternak jangkrik.
“ Saya usaha ternak jangkrik. Untungnya enggak mesti, kadang sampai 300 ribu tiap bulan, itupun saat penjualan jangkrik sedang tinggi-tingginya.”
Cobaan lain, Sulikin anak ke limanya, kini menderita kelumpuhan. Kondisi itu berawal dari kelaianan tulang yang diderita anaknya sejak umur 5 tahun.
“Sulikin kecil waktu itu terlihat sering terjatuh tiba-tiba. Kondisi itu makin parah saat Sulikin beranjak besar. Sekali terjatuh saja Sulikin mudah mengalami patah tulang, berawal di tangan, kaki kanan kaki kiri. Dan sekarang Sulikun tidak bisa berjalan, juga berdiri,” lanjutnya tegar.
Kemanapun perginya Sulikin selalu bergantung digendongan sang ibu. Saat sekolahpun sang ibu rela menunggunya di dalam kelas, turut mengikuti pelajaran.
Sebagai anak kelima, Sulikin sebenarnya menjadi sumber harapan dan kebahagiaan Sukiyah. Maklum saja Sulikin menjadi satu-satunya buah hati Sukiyah dan Sumarisikin yang masih hidup hingga sekarang. Empat anak mereka semuanya meninggal saat masih kecil.
“ Rata-rata meninggal umur 2 bulan, menderita panas, batuk lantas meninggal, “ kata Sukiyah lagi.
JUARA KELAS
Wanita tinggi semampai itu tidak pernah mengeluh. Ia sabar menjalani cerita hidupnya. Kesetiaan mendampingi sang suaminya tidak berubah. Ia juga tegar menghidupi keluarga dan mengasuh Sulikin. Harapannya hanya satu, melihat anaknya besar, bisa berjalan seperti anak normal lainnya dan mengenyam pendidikan yang layak.
“ Karena kekurangannya, Sulikin hanya dapat bersekolah 20 hari sekali setelah itu ia tidak masuk sekolah lagi hingga 1 bahkan 2 bulan,“ jelasnya Sukiyah. Ia praktis sehari penuh menyertai Sulikin di kelas. Ikut mendengarkan guru, ikut menemani Sulikin bermain sebisanya dengan teman-temannya saat istirahat.
Ia bersyukur karena kesabaran dan pengorbanan mendampingi Sulikin belajar membuahkan hasil. Meski hanya 20 hari masuk kelas, Sulikin berhasil meraih peringkat 2 di kelasnya. Padahal ia tidak pernah didukung gizi yang cukup. Kecerdasan itu seperti sebuah anugerah.
Sukiyah menyadari kelebihan-kelebihan anaknya tapi ia tidak tahu harus dengan cara apa membantu mewujudkan cita-cita Sulikin. Dari kebutuhan paling utama, makan saja Sukiyah hanya mampu memberi makanan seadanya. Padahal kerapuhan tulang yang diderita Sulikin butuh makanan yang cukup gizi dan banyak mengandung kalsium.
Susu untuk tulang pun jarang diberikan kepada Sulikin. Kondisi ini membuat Sulikin hingga kini masih saja mengalami patah tulang tiba-tiba.
Sangat mengenaskan, baru-baru ini ketika mengalami patah tulang Sulikin tidak dibawa ke dokter. Sebagai pertolongan awal sang ibu nekat meluruskan sendiri tulang Sulikin yang bengkok karena patah. Kaki Sulikin ia tarik dan diikat dengan kain putih.Krek..!! Hasilnya, Sulikin pingsan karena tidak kuat menahan sakit!
SEKOLAH LANJUTAN?
Sementara untuk sekolah Sulikin, tiap hari ia harus menggendong anaknya dengan berjalan kaki sejauh 2 kilo meter. Itu baru sekolah SD. Belum lagi jika nanti Sulikin menginjak SMP, ia tak bisa membayangkan. SMP yang ada letaknya jauh dari kampung dan harus ditempuh dengan angkutan umum.
Untuk mendapatkan transportasi, ia harus berjalan dari kampung menuju jalan raya sekitar 5 km. Jarak sejauh itu jelas tidak mungkin ia tempuh dengan jalan kaki apalagi sambil menggendong Sulikin.
****
Semoga Sulikun mendapat keajaiban sembuh, tumbuh cerdas, hebat dan berbakat seperti yang sudah kami lihat dulu.
Kudus, 2006