Anak-anak jalanan di Semarang aktif berkampanye menyuarakan lawan perdagangan anak. Mereka dilibatkan oleh sebuah LSM Anak di Semarang untuk berkampanye dengan membuat lagu. Hasilnya efektif, selain menyenangkan, materinya juga lebih mudah diterima anak-anak jalanan. Kewaspadaan dan sikap saling menjaga antar anak jalanan kini meningkat. Bagaimana prosesnya?

“Ratusan ribu dari mereka, telah dienggut dari batangnya. Oleh tangan-tangan raksasa. Haruskah diam menyaksikannya? Tuntut negara tuk lindunginya? Haruskah diam menyaksikannya?”

Sepenggal lirik lagu berjudul “Ratusan Ribu” dinyanyikan bersama-sama sejumlah anak jalanan di Pasar Johar Semarang. Lagu ini menjadi salah satu lagu favorit, sering dibawakan di atas bis kota selama mereka mengamen.

Silvi, salah satu anak yang sering menyanyikan lagu ini, menjelaskan pesan dari lagu tersebut. “Ibaratnya bunga baru mekar, nah, direnggut sama orang-orang yang tidak bertanggung jawab, haruskah diam menyaksikannya? Itu arti kurang lebihnya.”

Lagu ini menjadi media kampanye untuk menyuarakan anti perdagangan anak, dengan sasaran utama anak-anak jalanan.

Ika Kamelia dari LSM Setara Semarang menuturkan alasan kampanye melalui lagu. “Kita kan pendekatan isu, eksploitasi seksual anak, pendekatan kita lewat seni, lagu atau teater seni. Ide buat lagu ini untuk memudahkan kita kampanyekan seperti itu. Lagu ini salah satu media untuk sampaikan ESKA, isu-isu tentang anak dan masyarakat,” katanya.

Proses Pembuatan Lagu

Ide kampanye anti perdagangan anak melalui lagu ini berawal dari rencana aksi seniman dan LSM Setara serta sejumlah anak-anak jalanan Semarang. Mereka ingin gerakan yang berbeda dari biasanya. Wak Yok, salah satu pengarang lagu, menjelaskan, “Kita mau bikin aksi. Aksi tentang perdagangan anak, aksi ini kan harus ada media yang bisa dinyanyikan bersama. Biar seluruh komunitas bisa menyanyikan bersama-sama saat aksi itu. Jadilah buat lagu itu, lagu yang bercerita tentang kondisi anak-anak yang diperdagangkan.”

Dari satu lagu berkembang menjadi puluhan lagu yang akhirnya tergabung dalam dua album, “Negeri Kami” dan “Save The Children”.

Proses pembuatan lagu berawal dari tahun 2006 hingga sekarang. Mereka tidak melibatkan musisi profesional dalam lagu-lagu tersebut. Ini murni dari para aktivis LSM Anak Setara dan seniman jalanan Semarang.

Lagu-lagu kampanye anti perdagangan anak ini akhirnya tersebar luas melalui media, kafe, lembaga-lembaga pendidikan, dan perkumpulan masyarakat umum. Ika Kamelia menyebut, tak hanya di Semarang, lagu mereka juga menyebar ke beberapa kota lain di Indonesia bahkan luar negeri, sebanyak 1800 keping CD dan kaset. “Jaringan Indonesia X, salah satu membernya Setara. Ada dari Medan, Batam, dan NTT. Kita juga menyebarkan dan memberikan kaset CD ini ke beberapa wilayah untuk kampanyekan mereka di Medan, Bogor. Sudah tersebar di kota-kota itu semua.”

Kampanye anti perdagangan anak melalui lagu ini juga melibatkan anak-anak jalanan sebagai penyampai materi. Wulansari, salah satu anak jalanan yang terpilih, ikut berkeliling sekolah membawa pesan khusus. “Aku dilibatkan sebagai tim pendidikan komunitas, jalan ke mereka, komunitas kampung dan jalanan sama pelajar. Aku di situ beri sosialisasi dan populerkan lagu. Sosialisasi di sekolah-sekolah sekalian sebarkan lagu-lagu itu,” ungkap Wulansari bangga.

Harapan kami sih masyarakat juga bantu kami, istilahnya tidak cuma LSM, kami tuntut negara untuk lebih melindungi anak jalanan. Sehingga kami bisa mendapatkan hak sesuai hak anak,” tambahnya.

Berkat aktif di komunitas dan ikut sosialisasi, kini Wulansari menjadi bagian anak jalanan yang memahami banyak hal tentang isu perdagangan anak dan hak-hak anak.

Risiko anak jalanan dapat pelecehan seksual dari orang-orang dewasa, orang-orang lewat pun bisa, colek meremehkan kita sembarangan. Kekerasan kalau di jalan, Satpol PP razia kami, tapi suka semena-mena, kasar. Nggak setuju. Ya narik-narik padahal kan kami masih anak. Anak kan juga tahu sendiri gimana caranya bisa naik ke mobil patroli, tapi kan mereka nggak harus maksa,” keluh Wulansari.

Tak hanya Wulansari, Diastuti, anak jalanan lain, juga mengaku bisa lebih berhati-hati menghadapi orang-orang di jalanan. “Menghindari dari orang-orang yang kurang ajar. Dengan cara nggak dekat ma mereka. Kalau lagi ma temen-temen cari tempat yang aman, yang banyak orang, nggak di tempat sepi. Biar nggak ada yang macem-macem, kalau di tempat ramai kan bisa cari bantuan,” jelas Tuti.

Kampanye pemahaman hak anak dan perlindungan anak untuk anak jalanan seperti ini memang tidak bisa berjalan singkat. Untuk mendapat hasil yang tepat, perlu ketekunan, ketelatenan, dan konsisten dari para pemangku kebijakan. Karena semua ‘jenis anak’ di negeri ini layak mendapatkan hak-haknya, hak terjaga aman dan terlindungi di negeri sendiri. (Shinta Ardhan/KBR68H)

Semarang, 2011

Categorized in:

Berita,