Hari itu, hari ke tujuh aku berada di Desa Sebangau Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Pagi hariku selalu disambut matahari katulistiwa yang sangat terik.
Hari-hari sebelumnya, aku selalu semangat begitu bangun tidur dengan matahari bersinar terang begitu. Sudah terbayang akan menulis hal lain yang lebih seru lagi. Keberadaanku yang jarang-jarang di Kalimantan pasti tidak akan terlewat begitu saja tanpa ‘memborong’ banyak cerita menarik dari sini.
Tapi, pagi itu aku merasa ada yang aneh di badanku. Tiba-tiba sekujur tulang di badan terasa sangat sakit, ngilu hingga ke tulang sumsum.
“Kenapa ini?”
Jadi teringat kata beberapa warga yang aku temui beberapa hari lalu. Jangan-jangan yang kurasakan ini sama dengan yang dirasakan Ibu-Ibu kemarin ya?
“Wah, awal-awal memang nggak enak, tapi lama-lama ya sudah biasa. Tapi ya itu…tetap saja terasa sakit tulang-tulang ini. Sekarang-sekarang ini kalau bangun tidur, waduhh, sampai kayak gak kuat bangun,” curhat seorang Ibu transmigran di kampung sebelah.
Curhatan Ibu tadi seputar konsumsi air hujan untuk kebutuhan sehari-hari di Sebangau Kalteng yang ternyata memiliki dampak buruk untuk kesehatan. Dan, dampak yang sama sedang terjadi padaku.
Kawasan Sebangau sejatinya amat eksotis. Sayang, berada di kawasan tertinggal dan terpencil dengan penuh kendala. Persoalan pertama, jalan. Amat rusak dan tidak layak dilalui. Kondisi jalan yang menjadi satu-satunya jalan disana untuk menuju pusat kota Palangkaraya kondisinya parah. Harus ditempuh dengan sengsara. Banyak yang belum beraspal. Kalau hujan, lumpurnya tebal sekali. Melaju dengan motor artinya harus siap berkali-kali berhenti dan mendorong motor yang terjebak lumpur. Dorong terus sampai ketemu jalan beraspal berikutnya. Kata kakak sepupuku, seorang PNS Penyuluh Pertanian di Sebangau, jalan darat nan susah ini sudah anugerah besar. Setidaknya ada pilihan jalur darat. Dulu, hanya satu pilihan, naik kapal di jalur sungai yang masih banyak buayanya. Ngeri-ngeri sedap ya.
Sementara kata anggota dewan kabupaten yang sempat aku wawancara, tentang mengapa pembangunan jalan disana terkesan lambat? Semua itu karena kondisi tanah rawa, banyak kandungan air. Untuk mengaspal 1 Kilometer saja butuh dana 1 Milyar karena tanah harus berlapis-lapis. Tanah ditutupi terpal, lalu diberi tanah lagi diatasnya dan terpal lagi. Intinya menguatkan kondisi bawah tanah sebelum diaspal biar tidak merembes terus.
Problem Air
Problem lain, soal air. Air sebagai sumber kehidupan, sangat tak mudah didapatkan di kawasan Sebangau ini. Baik untuk mandi ataupun untuk konsumsi. Sehari-hari, masyarakat disana mandi dengan air keruh, kecoklatan yang lengket. Saya yang baru mandi cara Sebangau tiga hari saja sudah ‘manjur’ kena dampak tersiksanya. Air keruh dan lengket itu sukses membuat kulitku gatal dan bentol-bentol. Belum lagi tak ada rasa segar dibadan meski baru saja selesai mandi.
Ternyata ini disebabkan oleh air yang dipakai mandi adalah air sumur. Karena tanah di Sebangau ini merupakan tanah gambut, jadi beginilah kondisi airnya. Keruh dan licin. Karena itu, air sumur yang berasal dari tanah dengan banyak kandungan air gambut, bersifat asam. Membuat air sumur disana hanya dipakai untuk mandi saja. Tidak layak dikonsumsi.
Lalu bagaimana untuk kebutuhan masak dan minum? Masyarakat di Sebangau mencoba jalan lain. Seperti kata bijak, dimana ada keterbatasan disitu ada usaha keras mengatasi keterbatasan. Apa penemuan mereka? Air hujan menjadi air penolong andalan! Untuk konsumsi sehari-hari mereka menggunakan air dari langit itu. Masak, minum, bikin sayur bahkan untuk jualan, bikin es batu, es lilin, semua dari air hujan!
Di setiap rumah penduduk, tersedia 4 hingga 8 tong penadah air hujan. Dua tong akan ditempatkan di depan rumah, dua di belakang dan sisanya di samping kanan dan kiri. Setetes demi setetes air hujan dengan sabar ditunggu dan ditampung warga.
Air ditadah dalam tong? Tong kan bisa berkarat? Kotor dong airnya? Begitu pikirku. Tapi ternyata bukan seburuk itu yang terjalani disana. Setiap tong yang digunakan untuk tadah hujan tadi sudah dilapisi dengan terpal yang bersih serta dilengkapi penutup rapat. Air hujan yang terkumpul di tong menjadi sangat rapat tersimpan dan siap dimasak untuk bermacam keperluan.
Terus bagaimana jika kemarau dan tidak ada hujan? Masyarakat di Sebangau punya cara lain lagi.
“Kalau tidak ada hujan, kemarau lama gitu gimana Pak?” tanyaku pada Pak Alim, seorang warga Sebangau.
“Ya cari cara lain,” jawab Pak Alim tenang.
“Caranya?”
“Masih ada air sungai. Itu disana banyak. Jadi beli saja air sungai, biasanya ada orang yang keliling bawa drum air sungai. Satu drumnya 5 ribu,” jelasnya.
Duh, serumit itu ya nasib saudara-saudara kita untuk mendapatkan air layak disana.
Ada beberapa pilihan sumber air, tapi semuanya dilematis. Air sumur, keruh. Air sungai, mahal. Air hujan?
Jika air hujan digunakan untuk keperluan MCK sebenarnya tidak begitu masalah. Namun yang perlu diperhatikan adalah penggunaan air hujan untuk air minum, sebabnya kandungan rata-rata air hujan di Indonesia:
* Mineral rendah
* Kesadahan rendah
* PH rendah (antara 3,0 s/d 6,0)
* Kandungan Organik tinggi (> 10)
* Zat besi tinggi (> 0,3)
Penggunaan air hujan untuk air minum dalam jangka panjang dikhawatirkan akan menyebabkan dampak buruk bagi kesehatan terutama kesehatan tulang.
Beberapa tokoh masyarakat disana, berusaha menyiasati agar konsumsi air hujan sedikit aman untuk kesehatan. Metodenya tradisional dan sederhana. Sebelum dimasak air hujan harus disaring menggunakan saringan dari drum plastik yang berisi kerikil dan arang batok kelapa yang telah dibakar dan dicuci bersih.
Setelah disaring kemudian ditampung dalam bak penampungan air yang terbuat dari semen atau tandon plastik. Urutan Penyaringannya: Talang –> Saringan air –> Bak penampungan.
Kemudian jika air yang terkumpul akan dikonsumsi, air yang telah ditampung dalam bak atau tandon akan diberi kapur gamping atau kapur sirih. Takarannya adalah 2 sendok makan penuh untuk 1000 liter air, lalu biarkan sampai mengendap.
Sebelum dimasak, air yang telah diambil dari bak penampungan tadi juga harus diberi garam sedikit. Fungsinya untuk penambahan kandungan mineral dalam air itu.
Ini tips yang didapat dari sumber turun temurun. Sayangnya, di Sebangau, belum ada LSM atau tenaga kesehatan yang memahami betul cara konsumsi aman air hujan sehingga masyarakat masih belajar secara otodidak tanpa pengarahan pihak yang tepat.
Sehingga, masyarakat disana masih harus rela bersabar menunggu keajaiban munculnya temuan teknologi dimasa depan untuk membuat air hujan_yang menjadi harapan utama sumber air disana_menjadi layak dan sehat dikonsumsi.
Tapi aku yang amat tersiksa dengan kondisi tulang-tulang yang semakin sakit ini, tidak bisa bersabar. Dengan terpaksa cepat-cepat meninggalkan Sebangau menuju Palangkaraya. Beberapa hari di Palangkaraya, kondisiku langsung membaik. Tidak ada sakit tulang lagi.
Sekali lagi, doa saat itu, semoga dimasa depan ada kemajuan teknologi yang bisa mewujudkan ketersediaan air bersih dan sehat untuk warga Sebangau Kalimantan Tengah ini. (Shinta Ardhan/Travel)
Sebangau Kalteng, Juni 2012.
***